Politik di Warung Kopi| Edisi Tambang
Pagi itu warung Bang Dho udah riuh sebelum kopi diseduh. Di luar, debu naik tiap kali truk lewat.
Di dalam, obrolan makin panas dari air termos.
“Bro,” kata Rian, “udah baca belum? Pajak tambang belum dipungut ratusan juta.”
Bang Dho nyeruput kopi, lalu nyeletuk, “Lah, yang ngeruk udah kaya duluan, yang nagih masih ngitung di kalkulator.”
Bu Wati ikutan nimbrung, “Setoran gak masuk, tapi jalan tiap hari dilindas. Kita yang lewat, kita juga yang bolak-balik tambal ban.”
Pakde Harto geleng-geleng, “Kayaknya di negeri ini, lebih gampang ngeruk bumi daripada bayar pajak.”
Bang Dho manggut-manggut, “Udah kaya, gak setor, bikin rusak. Tapi anehnya, yang disuruh sabar… ya kita-kita juga.”
Semua terdiam. Lalu ketawa kecil, pahit, kayak kopi sisa kemarin.
Politik di Warung Kopi: Tempat kritik disajikan santai, tanpa sensor, tanpa sponsor
Kalau kamu merasa tersindir, bisa jadi kamu bagian dari masalah.
Tapi santai… mungkin bukan kamu kok.
Ngopi yuk, sebelum jalanan berubah jadi gurun berbatu.